Thursday 30 April 2015

Puisi


Setengah Dewa
: untuk Cof

Pagi, api, dan rencana
bibirmu luruh debu
kau selalu menggelisahkan aku
bukan aku, tapi posisiku
apa?
semua sudah ada yang mengatur
termasuk nasi di mulutmu

"Selalu ada jalan menuju Roma"
ah, lupakah kau?
tak perlu nanar
merubah warna wajahmu, palsu.

diamlah, sebab suara menderu lewat lubang besar di wajahmu
membawa pekat menggelapkan kata

Aku mendoa
kau baik-baik saja
menjadi manusia setengah dewa
yang lebih manusiawi

Blimbing, 4 Januari 2014


Sebuah Nama yang Terselip di Rak Buku

nama itu,

yang berembun di ujung mata
mengalir sendiri.
"kumohon jangan rupa yang sama"
sebab hiatus membuatku kurus
dan hati menolak berkemas
merantau lagi

senyum itu,

percuma memintamu mengenang
pada rumah yang tak pernah  kausinggahi
pada diam yang tak pernah kau mengerti
 
gelap itu saat matamu tak bisa menemukan riak dalam
nadiku

tidak ada jingga
musim yang akan membawaku kembali
menggenapkan semedi, terbangkan doa ke langit
pada subuh yang letih

Blimbing, 5 Januari 2013

Telepon Gelap
: kepada Rinta


sesaat sebelum rupaku mengalir pada bola mata
dering berbeda menyeruak wangi
kami yang pernah bertemu di bilik imaji
bersandar pada merdu suara
pada janji-janji melekat di telepon

hari berseri selalu pagi
seperti mentari tak mau pergi

cerita-cerita usang yang renyah
mengudara sampai ke rongga
terasa menyatukan
kuceritakan pada teman
pada bapak juga emak.
siapa yang tak terkesan

tapi kemarin jelaga tersingkap
memerihkan mata.
gurih tawa lenyap
seketika

sisa gurat memilin rasa.


Bocah zaman

/1/
saban hari angan kautenggelam dalam persegi
bermain peran layaknya selebriti
snack berlebih penyedap penumpul ingatan
berjejal di lambung
surau-surau sunyi
kata kalian ini modernisasi

hari memanjang menjelma bayang-bayang
melebihi tubuhnya sendiri
lalu samar terdengar panggilan
tetapi kau acuhkan
berdesak menunggu antri
sambil menikmati suguhan goyang seksi
kata kalian ini modernisasi

lalu
kepada siapa kutanya kenang
tentang jejak-jejak kecil tak beraturan
di bawah pohon kelapa dan nangka main jek-jekan
amis keringat menyeruak
yang kalian sebut sebagai kepurbaan

/2/

keluguan, kelucuan ini kelak akan kau kenang
segala tingkah yang tak pernah kau dapati setelahnya
yang akan kita perbincangkan dengan perdebatan
bahkan permusuhan



kita menjadi asing
dari dunia yang bising

lalu kepada sunyi kau kan kembali




Laki-laki yang dulu jadi guruku
semasa putih abu-abu berkata
 “Kau awet sekali. Bahkan upahmu
tak cukup menganjal lambung.”
senyum kecut mengambang. Sebentar lagi. 
ku menunggu waktu tepat.
Seperti jingga yang selalu datang kala senja
sampai aku berhasil meramal misteri Tuhan


1 comment: